Pemanasan Global, Kesalahan Simulasi Komputer?

Yuliawan, Krisnadi (2001) Pemanasan Global, Kesalahan Simulasi Komputer?

Full text not available from this repository.
Official URL: http://elib.unikom.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=rea...

Abstract

Kesalahan Simulasi Komputer? GATRA.com - PADA satu dasawarsa silam, ide bahwa bumi makin panas akibat perbuatan manusia boleh jadi cuma dipercaya sebagai asumsi teoretis belaka. Mungkin banyak orang percaya bahwa sejak revolusi industri mulai, pada abad ke-18, pabrik dan mesin-mesin telah mengisi atmosfer dengan gas penangkap panas seperti karbondioksida dan metana. Tetapi, bukti bahwa bumi makin panas selalu samar. Kini bukti itu muncul dalam sosok menakutkan. Sebuah laporan prestisius mengenai pemanasan global telah diselesaikan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), April lalu. Lembaga yang disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan beranggotakan ilmuwan lingkungan terkemuka, ini mencatat bahwa pemanasan bumi memang fakta --bukan fantasi. Menurut laporan IPCC itu, dalam seabad terakhir temperatur dunia telah meningkat lebih dari 50C. Tahun 1990-an tercatat sebagai dasawarsa terpanas sepanjang sejarah. Untuk menyelesaikan laporan ini, IPCC menelaah seluruh data --mulai temperatur laut dan udara hingga hilangnya spesies makhluk hidup-- yang tersedia selama dua dasawarsa terakhir. IPCC mencatat, proses pemanasan global, yang berlangsung perlahan tapi pasti, ini secara langsung telah mempengaruhi sedikitnya 420 lokasi hidup binatang dan tanaman di seantero bumi. Gletser-gletser, atau sungai-sungai es --termasuk gletser Kilimanjaro yang legendaris itu-- kini mulai menghilang dari puncak-puncak gunung tertinggi di dunia. Terumbu karang laut makin banyak yang mati, karena suhu laut yang makin panas. Kekeringan juga menjadi hal biasa di beberapa wilayah Asia-Afrika. dan El Nino, yang menyebabkan cuaca buruk di sebelah timur Pasifik, makin kerap muncul. Daratan es kutub juga mulai mencair. Pola-pola migrasi binatang seperti beruang kutub, atau kupu-kupu, berubah secara drastis. Menurut IPCC, manusia --lewat industrialisasi dan upaya memperoleh kenyamanan hidup-- telah meningkatkan konsentrasi gas karbondioksida hingga 30% lebih banyak dari masa sebelum revolusi industri. Malah setiap tahun, angka peningkatan penambahan karbondioksida ini makin tinggi. Kesimpulannya hanya satu: temperatur global akan terus meningkat. Ketika Bumi Makin Panas BERTAMBAHNYA gas karbondioksida di atmosfer diramalkan akan terus berlangsung. Menurut IPCC, pada 2100, temperatur rata-rata akan meningkat antara 1,40C dan 5,80C, atau 50% lebih tinggi dari ramalan setengah abad lalu. Pertumbuhan temperatur setinggi itu akan menimbulkan bencana, sebab permukaan air laut akan bertambah sekitar satu meter. Artinya, banyak wilayah permukiman pinggir pantai di delta sungai Nil, Maladewa, dan Bangladesh bakal tenggelam. Tak hanya mereka yang tinggal di tepi pantai, ratusan juta penduduk bumi yang daerahnya menjadi kering juga harus berpindah mencari tempat lain yang lebih layak huni. Naiknya tinggi permukaan laut juga bakal menggarami sebagian sumber air bersih. Pendeknya, menurut versi IPCC, efek pemanasan bumi bakal menurunkan secara drastis kualitas hidup manusia. Penelitian IPCC ini jelas penambah argumen bagi kaum environmentalist, atau mereka yang disebut pejuang lingkungan. ''Sebab ini bukan penelitian segerombolen kaum hijau,'' kata Sir John Houghton, mantan kepala badan meteorologi Inggris, salah satu anggota IPCC. Para ilmuwan IPCC memang datang dari berbagai negara dengan bermacam latar belakang keilmuan. Untuk mencari tahu sebab peningkatan suhu global dan meramalkan apa yang akan terjadi seabad mendatang, misalnya, ilmuwan IPCC memasukkan segala macam input ke dalam komputer. Termasuk perkiraan populasi, pertumbuhan ekonomi, dan perkembangan teknologi. Proses ini konon menghasilkan tak kurang dari 35 perkiraan: mulai perkiraan enam milyar ton karbondioksida akan memasuki atmosfer hingga 35 milyar. Belakangan, semua perkiraan itu dimasukkan ke program komputer lebih canggih, yang meniru model iklim seluruh permukaan bumi. Karena tak ada satu model pun yang dianggap mutlak benar, IPCC merancang hingga tujuh model iklim. Tujuh model yang berbeda itu akhirnya menghasilkan 235 skenario peningkatan suhu bumi. Dari sinilah IPCC menyimpulkan bahwa pada 2100 temperatur bumi akan meningkat antara 1,40C dan 5,80C. Tapi, seperti pada banyak penelitian sains lain, riset peningkatan suhu akibat campur tangan manusia ini tak bebas dari ketidakpastian ataupun keraguan. Komputer Peramal Bencana TOKOH paling penting yang meragukan kesimpulan IPCC justru Richard Lindzen, pakar atmosfer dari Massachussetts Institute of Technology. Richard Lindzen termasuk salah satu ilmuwan yang ikut menyiapkan laporan IPCC itu. Ketika awal Juli lalu The Independent, sebuah surat kabar Inggris, menerbitkan kesimpulan IPCC, Richard Lindzen marah besar dan menulis bantahan The Idependent menulis: ''Para ilmuwan atmosfer terkemuka sepakat, pemanasan global akibat perbuatan manusia benar-benar terjadi.'' Laporan The Independent itu didasarkan pada laporan IPCC versi ''ringkasan untuk para pengambil kebijakan''. Richard Lindzen, yang tak ikut menulis versi ringkasan ini, menyatakan konsensus yang disebut oleh The Independent adalah hal yang tak mungkin. ''Ringkasan itu ditulis hanya oleh 14 dari ratusan ilmuwan yang menyumbang pendapat untuk laporan IPCC. Apakah itu konsensus? Saya kira tidak,'' kata Richard Lindzen. Menurut dia, terdorong keinginan untuk membuat terobosan bagi penanganan pemanasan global, IPCC telah bersikap tak disiplin terhadap sains, mengabaikan ketidakpastian, bahkan mengambil kesimpulan terlalu jauh. Sebenarnya, Lindzen tidak menganggap isu pemanasan global benar-benar bualan. Ia mengakui bahwa bumi makin hangat, serta boleh jadi campur tangan manusia menjadi sebagian sebabnya. Tapi Lindzen menganggap program dan model komputer yang melakukan simulasi iklim bumi seabad mendatang --dan meramal berbagai bencana masa depan-- tak bisa dipercaya. Jika seluruh model atmosfer itu meramal bahwa suhu bumi bisa meningkat hingga 50C, Lindzen hanya menghitung peningkatan tak sampai 10C saja. Angka pemanasan global versi Lindzen ini jelas membuat kecemasan Protokol Kyoto --perjanjian global untuk memerangi perubahan iklim-- menjadi tampak sebagai sebuah histeria semata. Maka, tak mengherankan jika Lindzen menyokong keputusan Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, yang menolak menandatangani Protokol Kyoto. Padahal, di mata para pejuang lingkungan, tindakan Bush ini sangat tak populer. ''Kesalahan Bush kan cuma karena dia jujur,'' kata Lindzen. ''Politisi lain hanya memanfaatkan Kyoto untuk kepentingan sendiri,'' ia menambahkan. Alam versus Komputer Raksasa LINDZEN mencatat, satu kesalahan penting model iklim versi komputer adalah kegagalannya memperhitungkan awan. Menurut Lindzen, pada bumi yang makin memanas, lebih banyak air laut yang akan menguap. Uap air laut itu akan membentuk lebih banyak awan. Apabila yang terbentuk awan kumulus, awan itu akan menaungi dan memperlambat pemanasan bumi. Lindzen tak sendiri. John Christy, pakar atmosfer dari Universitas Alabama --juga anggota IPCC-- setuju dengannya. Menurut Christy, model komputer hanya bisa mereproduksi iklim secara umum saja, tapi gagal menentukan tingkat pemanasan yang benar-benar tepat pada berbagai lapisan atmosfer. Menurut Christy dan Lindzen, ramalan bencana versi komputer terlalu dibesar-besarkan. ''Apa sih, hubungannya, alam di satu sisi dan model komputer raksasa yang meramal iklim 100 tahun ke depan di sisi lain?'' kata Lindzen. ''Pada metodologi sains, simulasi adalah rantai yang paling lemah,'' ia menambahkan. Belakangan, pandangan yang melihat ancaman bencana lingkungan sebagai pendapat yang terlalu dilebih-lebihkan memang muncul lebih kerap. Sebagaimana Lindzen, penyokong-penyokong pandangan terakhir ini juga pakar yang tak diragukan reputasinya. Salah satu di antaranya, Bjorn Lomborg, ahli statistika lingkungan dari Universitas Aarhus, Denmark, menuliskan pandangannya di majalah The Economist edisi 4 Agustus lalu. Dengan judul ''Kebenaran tentang lingkungan'', Lomborg mendedah kekeliruan para aktivis. Bjorn Lomborg sebelumnya adalah pendukung pandangan radikal Greenpeace. Pada 1997, misalnya, ia menantang Julian Simon, seorang ekonom yang meragukan berbagai klaim para aktivis lingkungan, untuk berdebat. Tapi, alih-alih membuat Simon berubah pikiran, Lomborg malah menemukan bahwa, secara statistik, semua data membenarkan pandangan Simon. Menurut Lomborg, pendapat yang mengatakan lingkungan hidup bumi makin buruk dari hari ke hari sama sekali tak benar. Lomborg lalu mengutip para pakar lingkungan, yang mendaftar empat musuh lingkungan yang paling utama: penyusutan sumber daya alam, tidak cukupnya bahan pangan, kepunahan besar-besaran spesies makhluk hidup, dan peningkatan polusi air dan udara. Pertumbuhan Penduduk Dunia Akan Berhenti SETELAH meneliti setumpuk data, Lomborg menemukan tak ada bukti nyata yang mendukung keempat hal tersebut. Energi dan sumber-sumber daya alam, misalnya, tercatat justru semakin berlimpah. Cadangan sumber daya alam di bumi memang terbatas, tetapi cadangan itu ternyata tetap jauh lebih besar dari yang diperkirakan para aktivis lingkungan selama ini. Cadangan minyak bumi, misalnya, masih dapat dimanfaatkan secara ekonomis untuk 150 tahun mendatang, bukan 40 tahun seperti perkiraan selama ini. Berlimpahnya sumber daya alam --di luar minyak-- bisa terlihat dari harga yang makin turun. Indeks harga-harga bahan baku industri sejak 1845 hingga sekarang turun 80%. Ancaman kedua, ledakan penduduk yang menyebabkan kelangkaan bahan pangan juga tak terbukti. Dalam buku The Population Bomb yang terbit pada 1968, Dr Paul Ehrlich, pakar lingkungan dari Stanford University, menulis bahwa ''tahun 1970-an dunia akan mengalami kelaparan yang sangat tragis, ratusan juta penduduk akan mati kelaparan''. Faktanya, menurut Lomborg, hal itu tidak terjadi. Produksi pangan saat ini justru lebih dari cukup dan semakin sedikit orang yang kelaparan. Menurut data PBB, jumlah orang kelaparan turun, dari 45% pada 1949 menjadi hanya 18%. Penurunan harga bahan pangan juga menjadi tolok ukur. Sejak 1800 hingga sekarang, harga makanan turun lebih dari 90%. Hal ini dimungkinkan karena pertumbuhan populasi penduduk memiliki semacam kendali internal. Makin kaya dan sehat seseorang, dia akan memiliki keluarga yang lebih kecil. Pertumbuhan penduduk dunia mencapai puncaknya (lebih dari 2% per tahun) pada awal 1960-an. Setelah itu, persentase pertumbuhannya makin menurun. Bahkan, PBB meramalkan, pada 2100 pertumbuhan penduduk dunia akan berhenti, dan jumlah penduduk akan stabil sedikit di bawah 11 milyar. Faktor lainnya adalah kemajuan teknologi pertanian. Teknologi yang semakin canggih menghasilkan bahan makanan yang lebih banyak tanpa memerlukan banyak lahan pertanian baru. Industrialisasi Justru Dipercepat ANCAMAN lingkungan yang ketiga adalah mulai punahnya berbagai spesies makhluk hidup. Ini memang terjadi. Tetapi jumlahnya jelas dibesar-besarkan. Kebanyakan ramalan awal selalu menggunakan model pulau sederhana untuk menghubungkan punahnya habitat dengan musnahnya keanekaragaman hayati. Teori ini menyatakan bahwa kehilangan 90% hutan akan menyebabkan punahnya 50% spesies. Ternyata data yang dikumpulkan Lomborg tak mendukung teori ini. Di sebelah timur Amerika Serikat, misalnya, kawasan hutan telah berkurang drastis selama dua abad terakhir. Kini hanya 1%-2% dari luas total hutan yang tersisa. Tapi, spesies yang punah hanya satu jenis burung hutan. Hal yang sama juga terjadi di Puerto Rico. Selama empat abad, kawasan hutan berkurang 99%, tapi ''hanya'' tujuh dari 60 spesies burung yang punah. Spesies-spesies hewan ternyata punya ketahanan yang di luar perhitungan. Menurut catatan dan prediksi Bjorn Lomborg, diramalkan hanya sekitar 0,7% yang akan punah untuk 50 tahun ke depan, bukan 25%-50% seperti yang dipercaya selama ini. Polusi air dan udara juga terlalu dibesar-besarkan. Tingkat polusi yang tinggi hanya timbul pada awal industrialisasi. Jika suatu negara sudah kaya dan mampu mengurusi lingkungan hidupnya, polusi udara akan berkurang, bahkan hilang. Di London, misalnya, polusi tertinggi terjadi pada 1890, dan sejak itu terus menurun. Sekarang, udara London justru paling bersih dari periode sejak 1585. Hal yang sama, menurut Lomborg, akan terjadi pada negara berkembang yang tingkat polusinya masih tinggi. Apabila sudah cukup kaya, negara-negara ini akan mulai mengurangi polusi udaranya. Jadi, untuk mengurangi polusi, industrialisasi jangan dihambat, tetapi justru harus dipercepat. Mengenai soal pemanasan Global, Lomborg juga punya pandangan senada. Emisi gas-gas penyebab efek rumah kaca memang akan menimbulkan pemanasan global. Tetapi, sebagaimana Lindzen, Lomborg juga percaya bahwa pemanasan ini terjadi dalam jangka waktu yang sangat lama, dan efek totalnya tidak akan merusak masa depan umat manusia. Menurut Lomborg, sebenarnya masalah yang lebih besar justru respons berlebihan terhadap isu ini. Kepentingan Negara Maju MENURUT Lomborg, ada banyak faktor yang menyebabkan salah kaprah ini. Pertama, besarnya dana yang dialokasikan untuk riset ilmiah di bidang perusakan lingkungan. Ini menimbulkan kesan pada masyarakat, bahwa ada masalah yang sangat besar. Padahal, kenyataannya tidak sebesar itu. Kedua, kelompok pecinta lingkungan membutuhkan perhatian media massa dan uang dari para donatur Pada 1997, misalnya, World Wild Fund for Nature menerbitkan kampanye yang menyebut, ''Dua pertiga hutan dunia musnah selamanya''. Padahal, menurut Lomborg, hutan dunia hanya hilang sekitar 20% saja. Kebanyakan lembaga swadaya masyarakat pejuang lingkungan memang dikelola oleh mereka yang tidak mementingkan diri sendiri. Tetapi, menurut Lomborg, para aktivis lingkungan ini punya semua ciri kelompok lobi. Jadi, seharusnya, pandangan skeptis juga diarahkan pada kelompok ini, seperti juga ditujukan pada kelompok lobi politik lain. Di mata Lomborg, faktor inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa Amerika Serikat tidak mau bergabung dalam Protokol Kyoto. Dana yang dibutuhkan Amerika untuk menjalankan Protokol Kyoto jauh lebih besar dari dana yang dibutuhkan untuk mengatasi penyediaan air bersih dan sanitasi yang baik bagi seluruh dunia. Padahal, pengaruh penerapan Protokol Kyoto terhadap perubahan iklim dunia sangat minim. Protokol ini tidak akan mencegah sama sekali pemanasan global, melainkan hanya menundanya selama enam tahun. Apakah pandangan Lindzen dan Lomborg ini yang lebih mendekati kebenaran? Pakar-pakar lingkungan penyokong kesimpulan IPCC jelas tak setuju. ''Orang seperti Lindzen itu teoritikus. Ia sama sekali bukan modeller, ia hanya bisa menunjukkan kesalahan. Tapi ia tak bisa membenahi kesalahan itu,'' kata para pengkritik Lindzen. Suwiryo Ismail, Wakil Direktur Wahana Lingkungan Hidup, atau Walhi, punya kritik lain terhadap ilmuwan seperti Lindzen dan Lomborg. ''Kalau sekarang, banyak yang membantah fakta dan teori tentang lingkungan ini tak lepas dari kepentingan negara-negara maju,'' kata Suwiryo kepada Bambang Febri Triatmojo dari GATRA. Yang Rugi Negeri Berkembang MENURUT Suwiruo, kalau teori Lomborg dibesar-besarkan, yang rugi justru negeri-negeri berkembang. ''Isu lingkungan di negara berkembang, yang bersumber pada sistem global yang tak adil, akan tenggelam,'' katanya. Di mata peneliti lingkungan terkemuka, Hans Joachim Schellhuber, Direktur Postdam Institute for Climate Studies di Jerman, teori Lindzen sebenarnya punya kebenaran. ''Ada dua model komputer Jepang,'' kata Schellhuber. ''Model yang pertama menunjukkan bahwa bumi akan mengalami peningkatan suhu hingga 90C dalam 100 tahun mendatang. Model lainnya menunjukkan bumi menunjukkan peningkatan suhu 00C.'' Menurut dia, dua model ini sebenarnya dipakai juga oleh IPCC, tapi hasil simulasinya dikesampingkan dari laporan. ''Apa artinya?'' tanya Schellhuber. ''Kalau satu saja dari model yang dipakai IPCC beroperasi berdasar prinsip yang salah, seluruhnya tidak bisa dipakai. Toh, Schellhuber tak setuju pada pandangan Lindzen, dan juga Lomborg, yang menganggap Protokol Kyoto sebuah kesia-siaan. Alasan Schellhuber sederhana: ''Bagaimana kalau mayoritas yang pesimistis itu yang benar?'' (Koleksi Perpustakaan Pelangi)

Item Type: Article
Subjects: Collections > Koleksi Perpustakaan Di Indonesia > Perpustakaan Di Indonesia > JKPKJPLH > Perpustakaan PELANGI Indonesia > Climate Change > Magazine Articles
Divisions: Universitas Komputer Indonesia > Perpustakaan UNIKOM
Depositing User: Admin Repository
Date Deposited: 16 Nov 2016 07:38
Last Modified: 16 Nov 2016 07:38
URI: http://repository.unikom.ac.id/id/eprint/3688

Actions (login required)

View Item View Item