Hidayat, Nur (2001) Pemanasan Global Mencari Larutan Penyegar Bumi.
Full text not available from this repository.Abstract
GATRA.com - SEBAGAI presiden, Rene Harris boleh jadi tak punya banyak pekerjaan. Nauru, sebuah negeri pulau --yang terletak nun jauh di bagian selatan Samudera Pasifik-- yang dipimpinnya cuma seluas 21 kilometer persegi. Masih kalah luas dari Kota Probolinggo, Jawa Timur. Penduduknya pun cuma 12.000 jiwa. Tapi, belakangan ini, Rene Harris terlihat sibuk dan cemas. Bersama beberapa negeri kecil lainnya di kawasan Pasifik, ia menuntut bertemu dengan Presiden Amerika Serikat, George W. Bush. ''Jika masalah ini terus dibiarkan, bisa terjadi malapetaka besar!'' katanya. Petaka yang dimaksud Harris tak kepalang tanggung: tenggelamnya negara-negara di kawasan Samudera Pasifik. Betapa tidak. Berbagai laporan penelitian dari para ahli lingkungan rame-rame menyimpulkan: volume air laut berangsur-angsur meningkat. Adapun sebab-musababnya adalah pencairan bongkahan-bongkahan es di Lautan Arktik, Kutub Utara, akibat terkena dampak rumah kaca. Bumi bertambah pengap karena terselimuti gas-gas polutan hasil industri. Suhu pun makin meningkat karena sinar matahari ikut terperangkap selimut gas. Mereka percaya, suhu bumi yang makin panas itu mendorong air laut makin naik ke darat. ''Bencana itu bisa terjadi kalau proyek Kyoto tak dipercepat,'' kata Harris. Terakhir, menurut penelitian John Reilly dari Massachusetts Institute of Technology, Mei lalu, air laut bakal naik sebanyak tiga kaki pada 2100. ''Kita menghadapi ketidakpastian di masa depan,'' Rene Harris menambahkan. Karena itulah berbagai kalangan menganggap Protokol Kyoto 1997 sebagai ''larutan penyegar'' agar bumi tak makin gerah. Sebanyak 180 negara sepakat untuk mengerem aktivitas industrinya agar tak mengotori udara. Tapi Presiden Bush malah menolak kesepakatan ini. Sejak awal, negeri yang bercita-cita menjadi ''polisi dunia'' itu memang sudah ogah-ogahan mengikuti Protokol Kyoto. Juli lalu, misalnya, Bush berkomentar, perjanjian itu ''cacat dan merugikan perekonomian Amerika Serikat.'' Tak ayal, banyak tudingan miring dialamatkan pada Bush. Lawan-lawan politik Bush bahkan segera merapatkan barisan. Senator Jim Jeffords dari Partai Demokrat, misalnya, bertekad memperjuangkan masalah pemanasan global ini di Kongres. Sebagai Ketua Komite Lingkungan dan Pekerjaan Umum Kongres, ''Masalah ini menjadi prioritas utama saya,'' katanya. Senator Republik, John McCain --yang pernah menjadi pesaing Bush untuk duduk di kursi presiden-- bahkan sampai menyeberang ke Partai Demokrat. Politikus dari Arizona itu bergabung dengan Senator Demokrat, John Kerry. Mereka bertekad meluncurkan beleid yang bakal mengangkangi kebijakan Bush ke Kongres. Beleid itu berupa seperangkat kewajiban bagi industri untuk mengurangi buangan gas emisinya. ''Selama ini, kita jelas salah arah. Presiden tak memahami masalah ini sama sekali,'' tutur Kerry. Kalangan aktivis lingkungan tentu tak ketinggalan angkat bicara. Mereka segera mencibir Bush. Dalam berbagai pertemuan, Bush selalu mengatakan pemanasan global adalah masalah serius. ''Tetapi dia nyata-nyata menghambat Protokol Kyoto,'' kata David Hawkins, Direktur Sumber Daya Nasional dari Pusat Dewan Iklim, sebuah lembaga swadaya masyarakat. Hawkins juga memaparkan begitu banyak data dan penelitian selama ini yang mengeluhkan suhu bumi. Panel Antarpemerintah Tentang Perubahan Iklim (IPCC), lembaga yang disponsori Perhimpunan Bangsa-Bangsa (PBB), selalu melaporkan, keadaan bumi saban waktu makin panas saja. Berbagai penelitian lembaga independen menghasilkan kesimpulan serupa. Dr. Paul Pearson dari Universitas Bristol, dan Prof. Martin Palmer dari Imperial College, Inggris, November lalu melaporkan gas karbondioksida (CO2) terus saja menumpuk di udara. Menurut hitungan mereka, atmosfer dunia kini menanggung konsentrasi CO2 mencapai 360 ppm (mg per kg udara). Jumlah ini melonjak jauh dibandingkan dengan jumlah karbon di zaman pra-industri, yang cuma 280 ppm. Penelitian Dewan Riset Ilmu Nasional Amerika Serikat juga menghasilkan laporan yang sama. Suhu bumi meningkat selama 20 tahun terakhir. ''Harus ada tindakan tegas,'' kata John Wallace, pimpinan dewan, dari Universitas Washington. Terakhir, tim gabungan ilmuwan Jerman, Inggris, dan Amerika bahkan menemukan gas baru yang membuat bumi makin gerah. Namanya trifluoromethyl sulfur pentafluoride. Pendatang baru ini timbul juga akibat aktivitas industri. Menurut Dr. Bill Sturges, anggota tim peneliti itu, jumlah gas ini masih sedikit menggantung di udara. ''Pertumbuhannya sekitar 6% per tahun,'' kata Sturges. Tapi, kemampuannya menangkap panas mencapai 18.000 kali lebih besar dari gas polutan lainnya. ''Karena itu, walau jumlahnya kecil, kehadirannya sangat berpengaruh pada suhu bumi,'' Sturges menambahkan. Walau begitu, Bush tetap bergeming. Ia masih meragukan berbagai penelitian tentang kondisi bumi yang digambarkan makin memburuk itu. Apalagi, Bush mendapat ''angin buritan'' dari penelitian Bjorn Lomborg, ahli statistika lingkungan dari Universitas Aarhus, Denmark. Lomborg memang tidak membantah fakta bahwa bumi makin panas. Tapi, mantan aktivis Greenpeace itu tak percaya wajah bumi bakal cepat bopeng seperti yang banyak diramalkan. ''Banyak yang dilebih-lebihkan,'' katanya. Menurut Lomborg, peradaban dan kemajuan teknologi manusia tak bakal membiarkan sumber daya alam bumi musnah. Peradaban dan teknologi justru akan memeliharanya. Polusi udara makin berkurang sejalan dengan kemajuan industri yang makin ramah lingkungan. Itulah salah satu sebab yang membuat Bush ingin mengadakan penelitian sendiri soal suhu bumi ini. Juli lalu Bush meluncurkan paket penelitian tentang iklim bumi senilai US$ 120 juta. Penelitian ini akan dilaksanakan oleh NASA, Badan Antariksa dan Penerbangan Amerika. ''Penelitian ini akan mengurangi hal-hal yang tak pasti tentang pemanasan global,'' kata Bush. Mungkin ''mengurangi hal-hal tak pasti'' itu tak terlalu menarik bagi Presiden Harris. Soalnya, ada satu hal yang sudah pasti: ancaman negerinya bakal tenggelam itu tadi. Menurut hitungannya, negeri kecilnya itu sudah mulai dikaramkan air laut dalam 50 tahun mendatang. Setelah masa itu, bisa-bisa Nauru hanya akan dijumpai di buku sejarah. Maklum, lokasi tertinggi di Pulau Nauru tak lebih dari lima meter di atas permukaan laut. ''Kami mendesak Presiden Bush agar menerima Protokol Kyoto,'' kata Harris.
Item Type: | Article |
---|---|
Subjects: | Collections > Koleksi Perpustakaan Di Indonesia > Perpustakaan Di Indonesia > JKPKJPLH > Perpustakaan PELANGI Indonesia > Climate Change > Magazine Articles |
Divisions: | Universitas Komputer Indonesia > Perpustakaan UNIKOM |
Depositing User: | Admin Repository |
Date Deposited: | 16 Nov 2016 07:38 |
Last Modified: | 16 Nov 2016 07:38 |
URI: | http://repository.unikom.ac.id/id/eprint/3689 |
Actions (login required)
View Item |