Boy (2001) Realisasi Investasi Migas Baru 30,14 Persen.
Full text not available from this repository.Abstract
Rabu, 17 Oktober 2001Jakarta, Kompas Target investasi sektor minyak dan gas (migas) pada tahun 2001 tidak terpenuhi. Bahkan, nilai investasi migas sampai September 2001 hanya mencapai 30,14 persen dari target yang digariskan pada tahun 2001, akibat gangguan keamanan dan implementasi berbagai perundangan yang baru. Menurut catatan yang ada, nilai investasi migas sampai September 2001 hanya mencapai 1,640 milyar dollar AS dari total target investasi migas tahun 2001 sebesar 5,440 milyar dollar AS. Sementara itu, Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Theo F Toemion, Selasa (16/10), di Jakarta, mengancam akan mencabut izin investor asing maupun lokal yang telah mendapat persetujuan investasi jika mereka tidak melaporkan realisasi usahanya dalam kurun waktu enam bulan. Tindakan itu akan didahului dengan surat peringatan. Jika tak ditanggapi, baru langkah tersebut diambil. "Dalam waktu enam bulan sejak izin dikeluarkan, seharusnya mereka sudah melapor. Jika tidak juga melaporkan realisasinya, BKPM akan mencabut izin tersebut," kata Theo F Toemion. Data KPS Informasi memburuknya realisasi investasi migas tersebut terlihat dari data kinerja Kontraktor Production Sharing (KPS), yang diumumkan Manajemen Production Sharing (MPS) dalam jumpa pers di Jakarta. Data tersebut juga menyebutkan bahwa pada tahun 1999 dari target 5,281 milyar dollar AS, yang terealisasi hanya 4,388 milyar dollar AS dan tahun 2000 dari target 5,185 milyar dollar AS yang terealisasi hanya 3,930 milyar dollar AS. Angka realisasi investasi ini semakin memburuk pada tahun 2001. Dari data yang ada, hingga September tercatat target eksplorasi 890 juta dollar AS. Namun, realisasinya hanya 93 juta dollar AS. Adapun pengembangan sumur produksi dari target 1,155 milyar dollar AS, yang terealisasi hanya 300 juta dollar AS. Demikian juga dengan biaya produksi dari target 2,891 milyar dollar AS, yang terealisasi hanya 1,061 milyar dollar AS, dan biaya administrasi dari target 506 juta dollar AS, yang terealisasi cuma 186 juta dollar AS. Praktis seluruh data menunjukkan kinerja yang memburuk. Direktur KPS Pertamina Effendi Situmorang mengatakan, penyebab utama anjloknya investasi tersebut adalah adanya gangguan keamanan. Selain itu, juga harus diakui bahwa Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Daerah menjadi salah satu faktor menurunnya kinerja di sektor migas. "Kedua undang-undang tersebut merupakan wacana baru bagi republik ini. Masih dalam tahap sosialisasi dan belajar mengenai undang-undang tersebut," ujar Situmorang. Menurut Situmorang, hal yang tidak diinginkan, seperti gangguan keamanan, timbul akibat keberadaan undang-undang yang dikombinasikan dengan resesi yang berkelanjutan. Namun, masalah keamanan merupakan gangguan yang utama dan menjadi penyebab realisasi investasi menjadi sangat rendah. Selain itu, gangguan lain karena terjadi tumpang tindih antara departemen yang membuat peraturan yang berbeda dan saling bertentangan. Akibatnya, salah satu kontrak karya yang sudah menanam investasi sebesar 300 juta dollar AS terpaksa dihentikan. Lahan investasi itu dijadikan taman nasional oleh departemen lainnya, meski sudah ada izin dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. "Tiba-tiba lahan yang diberikan kepada mereka dijadikan taman nasional seperti terjadi di Irian Jaya. Mereka memilih cukup rugi 300 juta dollar AS daripada harus rugi lebih banyak lagi," ujar Situmorang. Target produksi Menyinggung target produksi minyak mentah pada tahun 2002 yang ditetapkan DPR bersama pemerintah sebesar 1,32 juta barrel per hari (bph), Situmorang mengatakan, Pertamina akan berusaha memenuhi target tersebut. Meskipun sebelumnya, Pertamina hanya mengusulkan produksi sebesar 1,23 juta bph. Menurut Situmorang, Pertamina telah minta beberapa KPS-nya untuk menggenjot produksinya. Khususnya kepada PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) untuk meningkatkan produksi, yang sebelumnya berkurang sekitar 100.000 bph akibat gangguan keamanan di Riau. Secara rinci, KPS yang telah diminta untuk menambah produksinya adalah CPI diminta menambah produksi 40.000 bph, YPF Maxus menambah 16.000 bph, BP menambah sebesar 1.500 bph, dan Gulf Resources sebesar 500 bph. CPI merupakan KPS terbesar yang dapat diharapkan agar Pertamina dapat meningkatkan target produksi. Jarang lapor Sementara itu, menurut Toemion, sekarang ini sangat jarang perusahaan atau investor yang mau melaporkan realisasi usahanya. Akibatnya, BKPM tidak mempunyai data yang akurat mengenai berapa realisasi dari izin usaha, berapa tenaga kerja yang terserap, dan berapa nilai realisasi investasi. Data yang ada sekarang merupakan sumbangan data dari Sucofindo. Ketiadaan data itu menyebabkan BKPM tidak mengetahui pemetaan investasi. Padahal, data investasi adalah data yang penting sebagai indikator ekonomi makro. Toemion mengakui, selama ini fungsi BKPM hanyalah sebagai pemberi izin dan perpanjangan tangan birokrat. Begitu ada investor ingin masuk ke Indonesia dan meminta data yang akurat, BKPM tidak dapat menunjukkannya. Berkenaan dengan itu, BKPM akan membenahi semua data agar tidak terjadi misleading. Apalagi Bappenas telah menyediakan dana pendamping untuk teknologi informasi sebesar Rp 3,1 milyar. "Saat ini kondisi teknologi informasi BKPM sangat menyedihkan," keluh Toemion. Untuk menarik minat investor dan mampu bersaing dengan negara lain, menurut Toemion, pemberian insentif tetap merupakan daya tarik. Insentif itu misalnya berupa pengurangan bea masuk, PPN barang modal dan bahan baku, atau penurunan tarif pajak efektif. "Pemberian insentif itu merupakan kompensasi risiko dari risiko yang terukur (calculated risk). Country risk Indonesia tinggi, tetapi selalu ada investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya," ujar Toemion. Tanpa pemberian insentif, Indonesia sulit bersaing dengan Malaysia yang country risk-nya lebih rendah. Selain itu, negeri jiran tersebut berani memberikan pembebasan pajak penghasilan badan usaha selama lima sampai 10 tahun sejak mulai berproduksi. Namun, dalam insentif ini, tambah Toemion, tetap harus menggunakan kriteria, sasaran pengembangan sektor dan daerah tertentu, serta prioritas pembangunan nasional lainnya, seperti penciptaan lapangan kerja. Insentif itu lebih ditekankan untuk daerah yang perlu dikembangkan (depressed area) sehingga dapat bersaing dengan daerah lainnya. Pemberian insentif itu juga tidak diberikan selamanya, melainkan selama masa pemulihan ekonomi saja. (boy/tia)
Item Type: | Article |
---|---|
Subjects: | Collections > Koleksi Perpustakaan Di Indonesia > Perpustakaan Di Indonesia > JKPKJPLH > Perpustakaan PELANGI Indonesia > Energy > Magazine Article |
Divisions: | Universitas Komputer Indonesia > Perpustakaan UNIKOM |
Depositing User: | Admin Repository |
Date Deposited: | 16 Nov 2016 07:38 |
Last Modified: | 16 Nov 2016 07:38 |
URI: | http://repository.unikom.ac.id/id/eprint/3816 |
Actions (login required)
View Item |