Syafiuddin, Ahmad (2002) HUKUM ABORSI TERHADAP KANDUNGAN AKIBAT PERKOSAAN(Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif).
Full text not available from this repository.Abstract
Aborsi adalah berakhirnya masa kehamilan dengan keluarnya janin dari kandungan sebelum tiba masa kelahiran secara alamiah. Dalam kasus perkosaan yang merupakan kejahatan seksual tidak dapat disamakan dengan perzinahan dan free sex, karena dalam perkosaan melibatkan pemaksaan dan kekerasan. Terhadap tindak kejahatan aborsi, perangkat hukum kita telah melarang dan memberikan hukuman bagi pelakunya sebagaimana pasal 346-349 KUHP. Lalu bagaimana dengan kehamilan yang diakibatkan perkosaan. Padahal dalam perkosaan terdapat berbagai kondisi yang beraneka ragam, misalnya adanya luka-luka fisik, stess pasca trauma yang menghantui korban, maupun kondisi psiko sosial yang bermacam-macam. Memang dalam kondisi apapun termasuk kesehatan KUHP melarangnya karena KUHP hanya menitik beratkan abortus kriminalis saja. Tetapi UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan memberikan peluang dilakukannya aborsi apabila dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu. Sayangnya kaidah-kaidah hukum yang ada dalam pasal 15 ayat (1) UU No. 23 tahun 1992 tidak memberikan pedoman atau ukuran yang jelas tentang indikasi medis yang menjadi dasar untuk menyelamatkan jiwa ibu, sehingga secara teknis hukum masih memerlukan penjelasan yang cukup memadai baik dilihat dari ilmu kedokteran maupun ilmu hukum. Adapun perluasan interpretasi yaitu bahwa yang dimaksud dengan kondisi yang benar-benar mengharuskan dilakukan tindakan pengguguran kandungan adalah secara fisik maupun secara psikis ibu hamil terancam bahaya maut bila tidak dilakukan pengguguran kandungan. Kemudian dalam hukum Islam dengan mengacu pada al-Qur’an surat al-Mu’minun ayat 12-14 dan surat al-Hajj ayat 4 serta hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari ibn Mas’ud terdapat perbedaan pendapat tentang aborsi sebelum ditiupkannya ruh. Dalam madzhab Hanafiah misalnya ibn Abidin membolehkan aborsi dengan adanya alasan pembenar sampai habisnya bulan ke empat, demikian juga dikalangan madzhab Syafi’i, Muhammad Ramli membolehkan dengan alasan belum ada makhluk yang bernyawa. Sedang pendapat yang melarang sebelum ditiupkan ruh diantaranya Imam al-Ghazali dan Imam Malik. Dari beberapa pendapat ulama di atas, pendapat ulama Hanafi lebih luwes karena memberikan ruang lebih lanjut untuk menetapkan alasan lain yang dianggap sebagai pembenar aborsi. Sehingga dengan dibolehkannya aborsi dalam kasus perkosaan sebagaimana pendapat ulama Hanafiah tersebut adalah adanya pertimbangan kemaslahatan. Dari hasil penulisan tugas akhir ini dapat disimpulkan bahwa dalam hukum positif kasus kehamilan akibat perkosaan yang berimplikasi indikasi medis yaitu suatu indikasi yang mengancam kesehatan ibu secara serius baik fisik maupun psikis diperbolehkan. Kemudian dalam hukum Islam juga bisa dibenarkan dengan syarat sebelum usia kandungan 120 hari atau sebelum ditiupkan ruh, tetapi harus dibuktikan bahwa secara medis kehamilan tersebut mengganggu kesehatan ibu. Akhirnya ada beberapa saran yang dapat dijadikan sebagai masukan, yaitu bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu misalnya indikasi medis KUHP memperbolehkan dilakukan pengguguran kandungan, demikian juga kehamilan yang diakibatkan perkosaan yang berimplikasi indikasi medis, dengan jalan menyelaraskan antara hukum Islam dan hukum positif.
Item Type: | Article |
---|---|
Subjects: | Collections > Koleksi Perpustakaan Di Indonesia > Perpustakaan Di Indonesia > JIPTUMM > S1-Final Project > Dept. Of Law > Th. 2002 > Odd Semester |
Divisions: | Universitas Komputer Indonesia > Perpustakaan UNIKOM |
Depositing User: | Admin Repository |
Date Deposited: | 16 Nov 2016 07:39 |
Last Modified: | 16 Nov 2016 07:39 |
URI: | http://repository.unikom.ac.id/id/eprint/4240 |
Actions (login required)
View Item |