Arilianto, Anton (2007) LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN DI BAGIAN PUBLIC RELATIONS SAVOY HOMANN BIDAKARA HOTEL BANDUNG.
Full text not available from this repository.Abstract
Perjalanan sejarah “Savoy Homann” yang panjang, erat sekali hubungannya dengan sejarah dan kehidupan masyarakat Kota Bandung. Boleh dibilang bahkan menyatu dengan semangat dan kegiatan-kegiatan penting bangsa Indonesia. Dalam setiap peristiwa besar yang menyangkut kepentingan bangsa, seperti konferensi internasional maupun regional, “Savoy Homann” di ikut sertakan dalam penyelenggaraannya. Sebelum seperti sekarang “Savoy Homann” banyak mengalami perjalanan panjang dari zaman ke zaman. Berbagai fase-fase penting tersebut menjadikan awal mula berdirinya “Savoy Homann” sebagai inspirasi dan semangat untuk terus berkarya sebagai salah satu Hotel di Indonesia yang memiliki unsur historic (sejarah). Berikut ini sekelumit sejarah berdirinya Hotel “Savoy Homann” : “Every hotel keeper in Indonesia knows, that traveling is tiring and that he can do a lot towards making a trip a pleasure; therefore on arrival in the hotel everything possible is done to make the visit an enjoyable one, and every reasonable request is fulfilled” (Mr. Fr. Van Es) Director of Hotel “ Homann “, 1927. ”Tiap pengelola hotel di Indonesia menyadari, bahwa berpergian jauh selalu melelahkan dan mereka bisa berbuat banyak, agar pejalanan menjadi menyenangkan, misalnya dengan beristirahat di hotel. Oleh karena itu, segala reka daya mesti diupayakan agar kehadiran tamu di hotel, bakal menjadi kunjungan yang mengasyikan, dan berbagai macam permintaan yang wajar, akan dipenuhi, demikian kiat yang dianut oleh Tuan Fr. J. A. Van Es, pakar perhotelan, Direktur Hotel “Homann”, yang berpengalaman mengelola Hotel“Des indes“ di Batavia. Di bawah pengelolan Van Es, bangunan hotel Homann yang semula sempit dan sederhana diperluas serta di modernisasi menjadi salah satu hotel terkemuka di Asia Tenggara. Menurut penuturan M. A. Salmun (1950), sastrawan Sunda, sekitar 1871-1872, penginapan milik keluarga Homann masih berbentuk rumah panggung, berdinding gedek bamboo, beratap rumbia. Serupa dengan bangunan rumah penduduk biasa. Dalam catatan Tuan R. Teuscher, warga Jerman yang tinggal di Jl. Tamblong (nama Cina Konghucu tukang kayu), pada tahun 1874 di Bandung hanya ada 6 atau 7 bangunan yang berdinding tembok batu. Baru di tahun 1881, terdapat 8 bangunan di Bandung yang memiliki gaya arsitektur Eropa. Untuk meramaikan desa Bandung, asisten Residen Priangan Pieter Sijthoff pada 18 Juni 1882 meresmikan “Perkumpulan Tonil Braga”. Sekaligus mendirikan “Perkumpulan Kesejahteraan Umum Bandung”, cikal bakal organisasi Bandoeng Vooruit (Bandung Maju) yang banyak berjasa. Atas saran tuan Homann kepada Pieter Sijthoff, ketua umum “Perkumpulan Kesejahteraan Umum Bandung”, sebidang lahan di tepian kali Cikapundung disulap menjadi pemandian para tamu “Homann” dan dapat menaiki kereta balon (semacam andong) atau menunggang kuda. Dibawah pengelolaan asisten Residen Pieter Sijthoff dan Bupati R. A. A. Martanagara, Bandung memasuki abad ke 20 dengan wajah kota pra modern.Oleh sebab itu ditambah dengan kehadiran jalur kereta api di Tatar Priangan pada tahun 1884, membuat penginapan Homann kewalahan menampung tamu. Oleh karena hal tersebut secara bertahap bangunan penginapan ini di semi permanen berdinding papan, kemudian dirombak menjadi gedung tembok gaya arsitektur Kolonial Belanda. Adapun pintu masuk Hotel Homann pada awal masuk abad 20, terletak disebelah barat, dicapai lewat lorong panjang yang terletak di perempatan Jl. Dalem Kaum- Jl. Pangarang, tembus ke Groote Postweg (Jl. Asia Afrika sekarang) Gaya seni Art Deco yang menjadi “Trend” di daratan Eropa pada tahun 1920-an ikut mewarnai bangunan Hotel Homann lama. Dari hiasan interior, jendela kaca patri, ornament dinding, model meubel sampai kap lampu, semuanya berbau Art Deco. Setelah dua dasawarsa mengelola Hotel Homann dengan segala ketekunan dan tanpa membuang waktu, Van Es membenahi lagi Hotel Homann, bangunan lama direnovasi. Dengan bantuan Arsitek Belanda Aalbers dan tekenaar De Waal, Tuan Van Es menambah luas bangunan Hotel Homann dengan gedung baru, yang mengambil tempat pada tanah pekarangan depan, tepat di tepi Groote Postweg (Jl. Asia Afrika sekarang). Gedung baru yang kemudian disebut hotel “Savoy“ itu, mulai dibangun pada bulan Februari 1937, dan dirampungkan pada akhir tahun 1939. Gaya aristektur bangunan Hotel “Savoy”, hampir seirama dan segaya dengan gedung “Denis“ (Kini Bank Jabar) di Jl. Braga, yang dirancang pula oleh A.F Aalbers pada tahun 1935. Langgam gaya serupa dapat pula ditemukan pada “Toko Kembar” karya arsitek K. Bos (1935) di Jl. Kayu tangan Malang, dan rumah Pojok “Si Tiga warna“ (de drieklur) karya arsitektur A.F Aalbers (1937) yang terletak di simpang Dago- Jl. Sultan Agung Bandung. Upaya renovasi “Homann” dan pembangunan “Savoy” rampung pada akhir tahun 1939 dimana persis pada waktu itu ambang perang dunia kedua. Akibatnya, moment peresmian Hotel “Savoy Homann” kurang mendapat publisitas yang meluas. Selain jumlah tamu berkurang, peperangan membawa kerusakan cukup parah pada bangunan Savoy Homann. Pada tahun 1942, seluruh bangunan Savoy Homann dijadikan asrama Opsir Jepang. Segala peralatan dan kelengkapan hotel, pada masa itu mengalami kerusakan cukup parah. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu di tahun 1945, “Savoy Homann“ dijadikan markas Intercross (Palang Merah Internasional) dibawah kepemimpinan Captain Gray. Barulah pada tahun 1946, “Savoy Homann” dikembalikan kepada pemiliknya, yakni Mr. Fr. J. A. Van Es sampai akhir hayatnya pada tahun 1952. Setelah itu pimpinan hotel dilanjutkan oleh istrinya Mrs. Van Es van de Brink. Dengan kematian suaminya, Mrs. Van Es ingin kembali ke negeri asalnya, Belanda, dan menjual saham-saham Hotel Savoy Homann. Melalui Mr. LM Schorel seorang Advocaat dan Procureur yang berkedudukan di Jakarta, yang juga merangkap sebagai Commissaries dari NV Savoy Homann Hotel, pada bulan Agustus 1953 di lobbi Hotel “Des Indes“ Jakarta, 60 % saham Savoy Homann milik keluarga Van Es ditawarkan kepada Bapak R. H. M. Saddak, yaitu seorang anggota DPR-RI yang merangkap pula sebagai Direktur Firma “Saddak & Co“ yang bergerak di sektor ekspor-impor di Jakarta. Setelah melalui prosedur negoisasi selama dua bulan, akhirnya tercapai persetujuan pembelian 60 % saham Savoy Homann oleh Bapak R. H. M. Saddak. Atas persetujuan Pemerintah RI melalui instansi yang terkait, pada tanggal 23 November 1953, dilangsungkan jual beli saham, sekaligus serah terima pimpinan NV Savoy Homann Hotel , dari Mrs. Van Es kepada pemilik baru Bapak R.H.M Saddak. Disusul pula dengan pembelian 35 % sisa saham Savoy Homann yang saat itu dimiliki oleh Bank Denis Bandung pada tahun 1954. Ketika izin usaha N.V Savoy Homann Hotel akan berakhir pada September 1971 maka dimuka Notaris NOEZAR diadakan pergantian anggaran dasar dibawah nomor : 10 tanggal 6 September 1069 yang dimana pengesahannya dari Departemen Kehakiman RI dan termasuk dalam berita Negara RI tanggal 30 November 1973 No.96. Semenjak Hotel Savoy Homann ditangani oleh Bapak R.H.M Saddak, hotel ini menjadi persinggahan dan tempat menginap para delegasi dari Negara yang mengikuti Konferensi Asia Afrika (KAA), Kenferensi PATA, dan Konferensi Islam Asia Afrika.
Item Type: | Article |
---|---|
Subjects: | Laporan Kerja Praktek > Fakultas Sospol > Ilmu Komunikasi > 2007 |
Divisions: | Universitas Komputer Indonesia > Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia > Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik > Ilmu Komunikasi (S1) |
Depositing User: | Admin Repository |
Date Deposited: | 16 Nov 2016 07:45 |
Last Modified: | 16 Nov 2016 07:45 |
URI: | http://repository.unikom.ac.id/id/eprint/9433 |
Actions (login required)
View Item |