PROSES LAPORAN KETERANGAN PERTANGGUNGJAWABAN (LKPJ) BUPATI BELITUNG TIMUR TAHUN ANGGARAN 2005

Fidowaty, Tatik (2007) PROSES LAPORAN KETERANGAN PERTANGGUNGJAWABAN (LKPJ) BUPATI BELITUNG TIMUR TAHUN ANGGARAN 2005.

Full text not available from this repository.
Official URL: http://elib.unikom.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=rea...

Abstract

UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan pada 7 Mei 1999 dan implementasi otonomi daerah di Indonesia secara efektif mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 2000 lalu telah mendorong managemen pembangunan daerah yang berorientasi pada tata kepemerintahan yang baik (Good governance) dalam kerangka menciptakan nilai kesejahteraan sosial dan ekonomi yang lebih baik bagi masyarakat setempat. Good governance lebih menekankan pada interaksi berbagai peran diantara berbagai pelaku pembangunan di daerah. Baik itu masyarakat, dunia usaha (swasta) maupun pemerintah daerah dengan diatur oleh tiga pilar utama, yaitu akuntabilitas, transparansi dan partisipasi serta adanya Rule of law yang jelas. Kewenangan membuat peraturan daerah (perda), merupakan wujud nyata pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah dan sebaliknya, peraturan daerah merupakan salah satu sarana dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Secara umum UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah banyak membawa kemajuan bagi daerah dan juga bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat karena pemerintah daerah diberi wewenang yang luas untuk mengelola kekayaan daerah guna dimanfaatkan bagi pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteran rakyat di daerah. Namun demikian disisi lain UU No 22 Tahun 1999 dalam pelaksanaannya juga telah menimbulkan dampak negatif, antara lain tampilnya Bupati sebagai raja-raja kecil didaerah karena luasnya wewenang yang dimiliki, serta tidak jelasnya hubungan yang hirarkis dengan pemerintah diatasnya. Disamping itu dengan dimilikinya wewenang yang luas dalam pengelolaan kekayaan dan keuangan daerah, terbuka peluang untuk tumbuhnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di daerah-daerah. Akibatnya terjadilah korupsi besar-besaran di daerah, baik dikalangan eksekutif maupun dikalangan legislatif, serta lahirnya perda-perda tentang retribusi dan pajak daerah, yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Banyak hal lain yang bersifat negatif sebagai akibat pelaksanaan UU No 22 Tahun 1999, seperti “money politik”, yang terjadi dalam pemilihan Bupati, sengketa antar daerah, baik sengketa kewenangan maupun sengketa wilayah (perbatasan), dan lain sebagainya. Penerapan otonomi daerah berdasarkan UU No 32 tahun 2004 dengan prinsip otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab lahir dengan tujuan menyempurnakan dan memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada di UU No 22 Tahun 1999 seperti hubungan antara pemerintah pusat dan daaerah, antara provinsi dan kabupaten/kota serta antara sesama daerah kabupaten/kota. Hubungan ini berkaitan dengan masalah kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah. Disamping itu, hubungan kemitraan dan sejajar antara Bupati dan DPRD semangkin dipertegas dan diperjelas pula. Hal ini terlihat dengan dipilih langsungnya Bupati oleh rakyat, sehingga DPRD tidak dapat lagi menjatuhkan Bupati, sebelum masa jabatannya berakhir melalui suatu putusan politik (pemungutan suara) semata-mata, tetapi terlebih dahulu harus melalui proses hukum pengadilan. Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati secara langsung merupakan perubahan yang sangat signifikan terhadap perkembangan demokrasi. Penyelenggaran otonomi daerah harus menjamin adanya hubungan yang serasi antara masyarakat, pemerintah daerah dan DPRD, harus selalu berorientsi pada peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat luas. Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah menegaskan bahwa Bupati mempunyai kewajiban menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah pusat dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD. Hak-hak DPRD cukup luas sehingga memungkinkan munculnya implikasi yang negatif dari pemberian hak yang besar terhadap DPRD, yaitu memungkinkan akan terjdinya “konflik” yang berkepanjangan antara Bupati dengan DPRD. Hal tersebut sangat mungkin terjadi apabila sejumlah faktor yang lainnya ikut mendukung, seperti misalnya: 1) Gaya kepemimpinan Bupati sangat berbeda dengan pimpinan DPRD 2) Latar belakang kepentingan yang secara diametris antara pimpinan DPRD dengan Bupati 3) Latar belakang pengalaman dalam berpolitik dan penyelenggaraan pemerintahan yang sangat berbeda diantara Bupati dengan Anggota DPRD. Kerjasama diantara kedua lembaga atau kelompok politik akan menjadi sangat kuat apabila gaya kepemimpinan diantara para figur yang mendominasi kedua lembaga tersebut ”kompatibel” satu sama lain, terutama yang menyangkut style dan substansi diantara keduanya. Yang tidak kalah pentingnya adalah latar belakang pengalaman poltik terutama anggota DPRD, karena bagaimanapun juga, pengalaman akan sangat menentukan tingkat kematangan dalam berpolitik. Seorang anggota DPRD yang pengetahuan dan pengalaman politiknya kurang baik tentu sangat mempengaruhi kinerjanya sebagai wakil rakyat, terutama bagaimana menterjemahkan aspirasi masyarakat dan mengangkatnya menjadi sejumlah kebijakan pemerintah. Sebaliknya Bupati tentu berbeda pengalaman ataupun latar belakang pendidikannya. Persyaratan menjadi Bupati jauh lebih berat ketimbang persyaratan menjadi anggota DPRD, dan dapat saja hubungan menjadi sangat timpang dikarenakan pengalaman penyelenggaran pemerintahan dan latar belakang kepentingan-kepentingan yang diwarnai oleh kepentingan politik yang berbeda. Seorang Bupati dari partai politik X tentu mempunyai kepentingan yang berbeda dengan anggota DPRD yang mayoritas berasal dari partai Y, keduanya pasti ingin mewujudkan agendanya masing-masing. Apabila situasi ini benar-benar terjadi maka dibutuhkan kearifan untuk melakukan kompromi diantara kedua kepentingan tersebut, kalau tidak maka konflik yang muncul akan dapat menimbulkan implikasi yang tidak baik bagi masyarakat di daerah tersebut. Untuk pertama kalinya DPRD dapat memaksa seorang pejabat negara, atau pejabat pemerintah, atau bahkan warga masyarakat untuk memberikan keterangan dihadapan DPRD, apabila DPRD merasa memang memerlukan keterangan atau informasi dari pejabat ataupun warga masyarkat. Apabila seorang pejabat ataupun seorang warga msyarakat menolak untuk memberikan keterangan, sementara keterangan tersebut sangat diperlukan oleh DPRD dalam rangka pelaksanaan tugasnya, maka pejabat ataupun warga msyarakat tersebut dapat dikenakan ancamn yng disebut Contempt of Parliament, dan apabila hal itu sampai terjadi maka yang bersangkutan akan dapat dikenakan sanksi hukum.

Item Type: Article
Subjects: Laporan Kerja Praktek > Fakultas Sospol > Ilmu Pemerintahan > 2006
Divisions: Universitas Komputer Indonesia > Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Komputer Indonesia > Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik > Ilmu Pemerintahan (S1)
Depositing User: Admin Repository
Date Deposited: 16 Nov 2016 07:44
Last Modified: 16 Nov 2016 07:44
URI: http://repository.unikom.ac.id/id/eprint/8668

Actions (login required)

View Item View Item