Perbedaan Harga Diri ditinjau Dari Orientasi Religiusitas Ekstrinsik-Intrinsik

Rosmiyati, Dedeh (2002) Perbedaan Harga Diri ditinjau Dari Orientasi Religiusitas Ekstrinsik-Intrinsik.

Full text not available from this repository.
Official URL: http://elib.unikom.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=rea...

Abstract

Bila diperhatikan, kegairahan kehidupan beragama masyarakat Indonesia meningkat dalam tahun-tahun terakhir. Peringatan hari-hari besar keagamaan selalu dihadiri oleh banyak umat. Merupakan kebahagiaan tersendiri dapat menyaksikan perkembangan kaberagamaan seperti itu. Namun menurut Y.B. Mangunwijaya, problema yang dihadapi sekarang adalah orang memang beragama, tetapi belum tentu ia juga manusia religius (Intisari, 2002:45). Sehingga untuk dapat mengatakan secara khusus dan tepat mana orang yang religius dan mana yang tidak adalah sebuah permasalahan yang komplek. Walaupun agama merupakan persoalan sosial, tetapi penghayatannya amat bersifat individual (Fadholi & Nurkudri, 1995:11). Sejauhmana pemahaman seseorang tentang agamanya, menjadi dasar dan arah dari kesiapan seseorang mengadakan tanggapan, reaksi, pengolahan dan penyesuaian diri terhadap rangsangan dari dunia luar bagi perkembangan harga dirinya. Didalam kehidupannya, individu melihat begitu banyak orang yang lebih dari dirinya, baik dari segi harta benda, simbol penghormatan, posisi jabatan dan tingkat sosial. Hal inilah yang sering membuat sebagian orang merasa rendah diri, bahkan mungkin kehilangan kepercayaan diri.Disinilah kepribadian seseorang akan sangat menentukkan pada bagaimana individu tersebut menjalani kehidupan. Bagaimana manusia berperilaku dan diperlakukan di dalam kehidupan bermasyarakat tergantung pada kepribadian yang dimilikinya. Salah satu aspek kepribadian yang penting adalah self esteem atau harga diri, karena harga diri memainkan peranan dalam proses kehidupan seseorang. Tanpa kematangan harga diri, semua aspek kehidupan manusia di bangun di atas fondasi yang lemah. Sebenarnya harga diri seseorang tidak dengan begitu saja terbentuk. Dari pengalaman hidup, mereka mengembangkan sikap, keyakinan, cara berfikir dan berperilaku tertentu yang mereka rumuskan dalam bentuk kebiasaan yang sangat positif; kebiasaan untuk selalu berorientasi pada apa yang dapat dilakukan dan apa yang telah dilakukan, dan kemudian menjadikannya sebagai dasar untuk peningkatan kualitas hidup mereka (Brech, 2001:6) Persepsi masyarakat terhadap seseorang akan mempengaruhi keberhargaan seseorang dan menentukan pada bagaimana ia mampu menghargai dirinya. Terpuasnya kebutuhan akan harga diri pada individu akan membangkitkan perasaan dan sikap percaya diri, self-worth, rasa berguna dan penting di tengah-tengah masyarakat.Maslow melihat harga diri sebagai sesuatu yang merupakan kebutuhan setiap orang dan terasa mulai dari tingkat yang rendah hingga tinggi. Kebutuhan untuk dihargai ini di dalam kehidupan bermasyarakat mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku seseorang dan mendorong untuk melakukan bermacam-macam hal demi mendapatkan penghargaan dari orang lain. Banyak hal yang dapat mempengaruhi harga diri seseorang dalam beradaptasi dengan lingkungan, diantaranya adalah penanaman nilai-nilai moral keagamaan yang dapat menjadikannya individu yang lebih matang dalam menghadapi kehidupan. Semua tingkah laku seseorang seperti berpolitik, berekonomi, berkeluarga, berolah raga, berperang, belajar mengajar dan bermasyarakat di warnai oleh pemahaman beragama yang diterapkan dalam kehidupannya (Fadholi & Nurkudri, 1995:10)Orang pada masa kini banyak yang berkelakuan religius hanya karena motif-motif tertentu. Agama bukanlah gejala asli melainkan gejala fungsional belaka, artinya agama diabdikan kepada tujuan-tujuan lain yang bukan religius, agama "diperalat" oleh manusia demi kepentingan manusia sendiri (Dister, 1989: 74). Padahal seharusnya perilaku beragama muncul sebagai manifestasi dari keimanan dan ketaqwaan seseorang.Manusia menurut Muthahhari tidak dapat menjalani kehidupan yang baik atau sesuatu yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan peradaban manusia tanpa memiliki keyakinan-keyakinan, ideal-ideal dan keimanan. Orang disebut beriman jika mengikuti petunjuk dan kehendak Tuhan. Sejak 1945 Psikolog sosial mulai membicarakan tentang dua cara yang berbeda dalam menjadi seorang yang beragama. Pembedaan corak keberagamaan seseorang telah dibedakan oleh Allport antara yang berorientasi "intrinsik" dan "ekstrinsik". Yang disebut pertama, agama dipikirkan secara seksama dan diperlakukan dengan sungguh-sungguh sebagai tujuan akhir. Sedangkan yang disebut belakangan, agama digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang berpusat pada diri sendiri (Wulff, 1997:231). Cara beragama dengan orientasi intrinsik menjunjung tinggi kemurnian hati, visi, pengertian dan komitmen yang memberikan makna pada ritual-ritual keagamaan yang dilakukan (Wulff, 1991:232). Dengan demikian agama memiliki kekuatannya sendiri dan dalam ukuran tertentu memberi arah dalam hidup. Individu intrinsik memiliki harga diri karena mampu mengikuti nilai norma dan moral yang diyakini olehnya. Mereka hidup dengan penuh percaya diri, mampu menerima kritik dengan baik dan mempunyai keyakinan akan kemampuan untuk mengatasi masalah dalam kehidupan, karna hidupnya dengan berpegang pada komitmen dan memiliki prinsip dalam menjalankan agamanya. Seperti dikemukakan Tasmara (1999:192) bahwa prinsip merupakan fitrah paling mendasar bagi harga diri manusia. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Coopersmith (1967:38) bahwa salah satu aspek dari harga diri yang dapat menimbulkan perasaan sukses pada diri seseorang yaitu kebajikan (ketaatan terhadap norma dan moral). Dimana Ahyadi (1989:48) mengatakan bahwa kesadaran akan nilai-nilai dan norma-norma agama berarti dengan menghayati, menginternalisasikan dan mengintegrasikan nilai dan norma tersebut ke dalam diri pribadinya sehingga menjadi bagian dari hati nurani dan kepribadiannya (orientasi religius intrinsik).Kebalikan dari orientasi intrinsik adalah orientasi ekstrinsik. Seseorang yang dalam beragamanya berorientasi ekstrinsik tergerak bila ada faktor luar (yang bersifat duniawi) mempengaruhi dirinya. Tasmara (1999:193) menyebut mereka yang bersikap seperti ini sebagai orang yang munafik, dimana nilai-nilai kejujuran dianggap sebagai kelemahan, sok moralis. Hawa nafsu menjadi dorongan dan kerangka acuan untuk memenuhi ego dirinya. Padahal keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Aktifitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), akan tetapi juga ketika melakukan aktifitas lainnya yang di dorong oleh kekuatan akhir (secara intrinsik). Bukan hanya yang berkaitan dengan yang tampak dan dapat dilihat mata tapi juga aktifitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Sikap keberagamaan pada orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya, pendalaman pengertian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya, yang merupakan sikap dan bukan sekedar ikut-ikutan (Jalaluddin,2000:93-95). Pada individu ekstrinsik pelaksanakan ritual dalam agama seperti salat, puasa, haji dan sebagainya semua itu digunakan hanya sebagai alat yang menunjang motif-motifnya yang lain. Individu ekstrinsik tidak dapat mendatangkan masyarakat yang penuh kasih sayang, sebaliknya justru kebencian, iri hati dan fitnah yang akan terus mewarnai kehidupannya (Jalaluddin, 1995:26). Padahal harga diri sejati menurut Branden (1999:56) menuntut keselarasan, yang berarti bahwa diri seseorang yang sebenarnya tercermin dalam tindakan sehari-hari dan tidak ada perbedaan antara apa yang ditampakkan dengan apa yang ada dalam sanubari.Individu yang memiliki harga diri hidup penuh dengan kesadaran yang berkaitan erat pada caranya dalam mempertahankan prinsip dan bertanggung jawab untuk melaksanakan prinsipnya tersebut dan tidak diungkapkan dengan melalui pemujaan diri dengan mengorbankan orang lain atau dengan mengagungkan seseorang jauh lebih unggul dari orang lain. Berdasarkan realitas yang terjadi dalam masyarakat, terlihat sekali perbedaan antara individu yang meyakini agama berorientasi intrinsik dengan yang berorientasi ekstrinsik dalam menjalani warna kehidupan ini. Untuk itulah peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai “Perbedaan Harga Diri ditinjau Dari Orientasi Religiusitas Ekstrinsik-Intrinsik.

Item Type: Article
Subjects: Collections > Koleksi Perpustakaan Di Indonesia > Perpustakaan Di Indonesia > JIPTUMM > S1-Final Project > Dept. Of Psychology > 2002 > Odd Semester
Divisions: Universitas Komputer Indonesia > Perpustakaan UNIKOM
Depositing User: Admin Repository
Date Deposited: 16 Nov 2016 07:39
Last Modified: 16 Nov 2016 07:39
URI: http://repository.unikom.ac.id/id/eprint/4312

Actions (login required)

View Item View Item