Prabahana, Prima (2007) KEPEMIMPINAN KEPALA BAGIAN DALAM MENINGKATKAN EFEKTIVITAS KERJA PERANGKAT BAGIAN PEMERINTAHAN DESA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA.
Full text not available from this repository.Abstract
Peluang untuk menciptakan pemerintahan desa di Kabupaten Purwakarta yang berorientasi pada Good Governance sebenarnya dalam konteks transisi demokrasi seperti yang dialami oleh Bangsa Indonesia sekarang terbuka cukup lebar. Hal ini setidaknya didukung oleh kondisi sosial pasca otoritarianisme Orde Baru yang melahirkan masyarkat di desa secara bebas mengekpersikan gagasan – gagasan politiknya. Begitupula dukungan Pemerintah Kabupaten Purwakarta dengan membentuk Bagian Pemerintahan Desa Sekretariat Daerah Kabupaten Purwakarta melalui Peraturan Daerah Kabupaten Purwakarta Nomor 6 Tahun 2004 tentang Pembentukan Sekretariat Daerah Kabupaten Purwakarta. Meskipun demikian, adanya perubahan sosial – politik dalam masa transisi demokrasi ini tidak dengan serta merta dapat merubah dalam sekejap wacana dan kinerja pemerintahan desa ke dalam visi demokratisasi dan good governance di Kabupaten Purwakarta. Sekalipun strukturnya mengalami perubahan, dimana saat ini Bagian Pemerintahan Desa tidak lagi bersatu dengan Bagian Pemerintahan Umum. Realitas ini memang tidak dapat dilepaskan sebagai bagian dari proses konstruksi sosial yang begitu mendalam sehingga membuat daya kognitif Pemerintah Kabupaten Purwakarta seringkali merasa kesulitan dalam membuat terobosan – terobosan baru yang senafas dengan semangat perubahan ketika berbenturan dengan kebijakan kepala desa. Kondisi ini sedikit banyak dipengaruhi pula oleh lemahnya human resourses di desa yang populasinya relatif kecil dan sangat terbatas. Sebab itu guna mendobrak kebekuan dan stagnasi sosial ini diperlukan terobosan dari kekuatan luar untuk bermitra atau saling bekerjasama dengan aktor – aktor dan lembaga – lembaga potensial di desa dalam melakukan perubahan sosial menuju kearah situasi yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. Dalam konteks ini pula Pemerintah Kabupaten Purwakarta melakukan upaya pemberdayaan melalui promosi dan pembinaan – pembinaan Good governance di desa, dengan suatu keyakinan bahwa perubahan sosial akan memiliki kekuatan yang berarti, bila terdapat “ rekayasa sosial “ atau “ Social engeneering antar kekuatan sosial yang sama – sama memiliki concern terhadap masa depan yang lebih baik, lebih demokratis dan lebih mensejahterakan kehidupan warganya. Sasaran utama dari proses pemberdayaan ini adalah aspek individual dan organisasional di kalangan pemerintahan desa. Tulisan ini akan mendeskripsikan problem – problem sosial yang dihadapi oleh pemerintahan desa, serta kegiatan – kegiatan yang diformulasikan dalam good governance sebagai bagian proses sosial untuk menjadikan good governance sebagai kesadaran, perspektif dan orientasi sosial dalam pelaksanaan pemerintahan desa. Meskipun Undang – Undang 22 / 1999 dan Undang – Undang Nomor 32 / 2004 tentang Pemerintahan daerah pada tahap tertentu telah memfasilitasi proses desentralisasi dan demokratisasi, sehingga semangat otonomi dan demokrasi desa telah bangkit kembali. Namun demikian secara empirik otonomi dan demokrasi desa masih bekerja dalam berbagai keterbatasan. Keterbatasan itu berakibat jauh pada tidak tersedianya sarana bagi warga lokal untuk menyuarakan kepentinganya, terlibat dalam pengambilan keputusan serta sekaligus melakukan kontrol terhadap implementasi kebijakan yang telah dibuat, baik pada arus lokal ( desa ) maupun supra desa. Keterbatasan ini nampak jelas dari sejumlah bukti empirik berikut ini : Otonomi desa seringkali dipahami secara pragmatik sebagai bagian dari intergovermental autonomy, sehingga desentralisasi dan otonomi desa menggunakan pendekatan yang berpusat pada negara dengan menekankan “ bureaucratic power oriented “ atau “ autonomy within bureaucracy “, bukan dengan pendekatan yang berpusat pada masyarakat. Otonomi desa secara sempit dipahami hanya sebagai milik pemerintah.Dengan kalimat lain, kebanyakan orang memahami bahwa pemilik desentralisasi adalah pemerintah desa, bukan local governance stake holders yang mencakup pemerintah, unsur masyarakat sipil, masyarakat politik dan masyarakat ekonomi. Sebagai konsekuensi logis dari model dari autonomy within bureaucracy maka desentralisasi dan otonomi desa lebih banyak digerakan oleh regulasi ( peraturan ) dari atas daripada dibangkitkan oleh visi dan semangat masyarakat lokal dari bawah secara partisipatif. Pengedepanan pada regulasi ini menimbulkan akibat pada formalisasi politik desa, karena otonomi diartikan sebatas hanya pada membuat peraturan formal serta keharusan menegakan peraturan desa, bukan sebagai proses politik sehari – hari. Orientasi pada regulasi membuat otonomi desa tetap menjadi isu yang bias elite desa, karena regulasi secara substantif menyangkut soal kewenangan. Sedangkan urusan kewenangan dianggap sebagai otoritas pemerintah desa dan BPD. Otonomi desa terjebak dalam perangkat format demokrasi liberatif – delegatif yang tidak selalu menjamin terwadahkannya kepentingan lokalitas dalam domain politik yang lebih luas. Model pendelegasian kepentingan yang dibangun oleh tradisi demokrasi perwakilan mempunyai sejumlah keterbatasan, termasuk apabila hal itu dikaitkan dengan kepentingan lokalitas. Keterbatasan itu antara lain : model demokrasi perwakilan sangat tergantung pada model kepartaian yang dianut. Apabila sistem kepartaian cenderung sentralistik dan oligarkis, maka demokrasi perwakilan tidak memungkinkan munculnya kepentingan lokalitas karena sesungguhnya hanya segelintir elit partai yang mengendalikan pemerintahan dan membuat keputusan. Dalam kondisi “ hukum besi oligarkis “ seperti ini sudah dapat dipastikan akan terjadi kesenjangan antara kepentingan lokalitas dengan kepentingan elit politik yang bernaung dibawah lembaga – lembaga demokrasi. Disamping itu, karakter sentralistik dalam kepartaian menyebabkan agenda politik lokal akan tidak begitu menarik dibandingkan dengan isu – isu pusat ( nasional ). karena arena pergulatan politik yang sesungguhnya akan hanya berada di pusat bukan di tingkat lokal. Di tingkat domestik desa, wacana otonomi desa bisa masuk kedalam perangkap arena bad governance ketika otonomi desa berjalan ditengah masih kuatnya struktur dan kultur birokratik desa. Padahal melalui politik birokratik desa inilah dimungkinkan kepentingan desa lebih menyuarakan kepentingan politik supra desa. Sejarah menunjukan bahwasannya desa sebagai entitas politik tidak sepenuhnya otonom. Pada masa pra kolonial, desa tidak lepas dari kuasa para patuh yang menguasai tanah apanage ( lungguh ) di des, yang dikuasakannya, dalam proses produksi dan supply wajib kerja, dijamin sepenuhnya oleh para bekel. Demikian pula pada jaman kolonial, pemerintah negara kolonial melalui politik reorganisasi desa serta memperkuat jaringan komprador, melakukan penaklukan terhadap desa dalam rangka memperlancar proses akumulasi kapital. Kemudian dilanjutkan pada masa pasca kolonial oleh rezim orde baru dengan politik memasukan negara ke desa melalui politik korporatisme negara dan birokratisasi desa. Kejatuhan rezim soeharto bukan berarti akhir dari proses politisasi atas otonomi desa melalui politik birokratik. Otonomi desa menjadi persoalan ketika relasi antar kekuatan politik di desa tidak demokratis. Sebagai konsekuensi logis dari relasi kuasa yang timpang adalah adanya dominasi dari salah satu elemen politik desa, baik itu berasal dari kepala desa, pamong desa ataupun elite BPD, dalam merumuskan kepentingan desa. Sehingga akhirnya kepentingan yang disalurkan sebagai kepentingan desa adalah kepentingan dari segmentasi elite desa, bukan kepentingan ottentik desa. Dominasi terhadap “ suara desa “ tidak hanya bersumber dari institusi formal yang ada melainkan juga berasal dari kekuatan politik desa yang menggunakan jalur idegenisme ( cikal – bakal ), navitisme, kekerabatan ( trah ), jalur ideologi ataupun dari basis sosial – ekonomi, yang secara kuantitatif dan kualitatif sangat menentukan. Dengan demikian otonomi desa menjadi problematik ketika berada ditengah struktur oligarkis desa yang terbangun atas dasar pemilahan entitas kultur, agama, klan dan etnis. Dalam memahami otonomi desa, masih banyak kalangan akademisi dan praktisi yang menggunakan logika serta indikator ekonomi dalam merumuskan konsep otonomi desa. Sehingga, dapat dikatakan konsep otonomi desa menjadi sangat bias ekonomi bukan lagi dilihat senbagai sebuah keputusan politis. Desa yang tidak mampu secara ekonomi melaksanakan otonomi desa disebutkan akan digabung dengan desa yang lain. Tentu saja hal ini menyiratkan bahwa otonomi desa masih dipandang sebagai Automoney dimana uang adalah segala – galanya bagi berbagai negara, otonomi selalui dimaknai otonomi secara politis. Paradigma berpikir yang merumuskan otonomi sebagai automoney semacam inilah yang terus dikembangkan dalam substansi maupun praktek penyelenggaraan kebijakan otonomi desa selama ini. Akibatnya, pemerintah lokal sibuk menggali sumber – sumber keuangan dengan cara mengekploitasi retribusi atau pungutan lainnya dengan dalih otonomi desa, yang sebenarnya semakin memberi beban kepada masyarakat.
Item Type: | Article |
---|---|
Subjects: | Laporan Kerja Praktek > Fakultas Sospol > Ilmu Pemerintahan > 2006 |
Divisions: | Universitas Komputer Indonesia > Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia > Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik > Ilmu Pemerintahan (S1) |
Depositing User: | Admin Repository |
Date Deposited: | 16 Nov 2016 07:44 |
Last Modified: | 16 Nov 2016 07:44 |
URI: | http://repository.unikom.ac.id/id/eprint/8687 |
Actions (login required)
View Item |