Ayu Ningrum, Anggia (2007) LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN DI KANTOR DATA, INFORMASI DAN KOMUNIKASI PEMERINTAHAN KOTA CIMAHI.
Full text not available from this repository.Abstract
Cimahi mulai dikenal pada tahun 1811, Gubernur Jendral Willem Deandels membuat jalan Anyer Panarukan, dengan dibuatnya pos penjagaan (loji) di Alun-alun Cimahi sekarang. Pemerintahan Kolonial Belanda (setelah berhasil memperoleh profit dari Tanam Paksa–Cultur Stelsel 1830 – 1919) dalam upaya melestarikan penjajahannya, membangun kota-kota di Pulau Jawa. Pakar-pakar Planologi masa itu menciptakan Tata Kota Bandung dipersiapkan menjadi Ibu Kota Indonesia setelah Jakarta atau Batavia. Bandung sesuai dengan pola kepentingan penjajah, ditata dengan membaginya menjadi Bandung Utara dan Bandung Selatan. Dari pembagian dua pola ini masih dibagi lagi menjadi : Bandung Utara dengan pusat pemerintahan Geemente sebagai pengukuran sentral pembagian wilayah antara Protestan dan Katolik. Ditandai dengan pembagian : sebelah timur sekarang jalan Merdeka hingga Lembang bagian Timur, Baru Ajak, sebagai wilayah Katolik dengan Gereja Katedral di jalan Jawa, dan Gereja Bala Keselamatan. Sebelah baratnya sekarang Jalan Wastukencana hingga Lembang bagian baratnya Advent dan ke Baratnya lagi dari Geemente, hingga Cimahi sebagai Wilayah Protestan. Pada tahun 1874-1893 dilaksanakan pembuatan jalan Kereta Api Bandung–Cianjur, sekaligus pembuatan Stasiun Kereta Api di Cimahi, pada tahun 1886 mulai dibangun pusat pendidikan militer dan fasilitas lainya di Cimahi (RS Dustira, Rumah Tahanan Militer). Kedua belahan dihubungkan dengan jalan Kereta Api Cimahi sebagai kota militer. Setiap gereja pasti dibangun dekat dengan jalan kereta api dan stasiun. Dan berhubungan erat dengan penjaga dan dekat dengan kantor pos. Setiap kantor pos pasti sebagai penghubung dengan markas serdadu Belanda, dalam Rangka pengamanan penjara. Konsep pembelahan antara katolik dengan protestan berdasarkan pengaruh kondisi dinegara-negara Eropa yang dibelah menjadi one teritorial one faith satu wilayah satu Agama misalnya kerajaan Protesatan yang Belanda walaupun hanya seluas Propinsi Jawa Barat menjadi wilayah Protestan dan tidak mau bersatu dengan Perancis yang Katolik walupun hanya seluas Pulau kalimantan Indonesia. Demikian itulah konsep penatan negara dan kota setelah adanya perang agama antara reformasi Katolik sangatlah berpengaruh terhadap penataan kota Bandung dan Cimahi. Bandung dirancang sebagai Ibu Kota Negara, dikelilingi oleh kota satelit walaupun saat itu belum dinamai kota yang berjarak 11 km, yaitu Cimahi, Soreang, Banjaran, Majalaya, Rancaekek dan Lembang. Pada tahun 1935 berdasarkan Lampiran Staatsbald Tahun 1935 Nomor 123 Cimahi statusnya menjadi kecamatan. Kota-kota tersebut dihubungakan dengan kereta api yang kaitanya dengan pertahanan daratan mempunyai fungsi sebagai gurita dalam mempersempit ruang gerak perlawanan rakyat yang terjajah. Oleh karena itu, kota tersebut dihubungkan dengan jalan Kereta Api kecuali Lembang. Pada saat masuk kota Bandung, kereta api membelah jalan Gudang Utara dan Selatan. Disini mengisi perbekalan atau logistik terus menuju Cikudapateuh, berhubungan dengan Pusat Perbekalan (sekarang Pindad), untuk mengisi dan memperlengkapi serdadu yang berangkat dari kota Cimahi.
Item Type: | Article |
---|---|
Subjects: | Laporan Kerja Praktek > Fakultas Sospol > Public Relations > 2007 |
Divisions: | Universitas Komputer Indonesia > Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik |
Depositing User: | Admin Repository |
Date Deposited: | 16 Nov 2016 07:45 |
Last Modified: | 16 Nov 2016 07:45 |
URI: | http://repository.unikom.ac.id/id/eprint/9448 |
Actions (login required)
View Item |